Belajar dari Ketidaktahuan yang Mengajarkan
Beberapa waktu lalu, seorang siswa menanyakan sebuah soal. Ketika saya mencoba menelaahnya, ia berkata bahwa soal yang sama sudah dua kali ia ajukan pada Guru A di sekolah, namun tidak mendapat jawaban. Guru tersebut hanya berkata bahwa ia belum belajar materinya, sehingga belum bisa menjelaskan.
Kalimat itu menggema di kepala saya, karena saya pun pernah mengucapkan jawaban serupa—meski dengan sedikit perbedaan yang agaknya bisa saya jadikan sebagai pembelaan. Biasanya, saya juga menambahkan, “Sebentar ya, saya pelajari dulu, atau nanti kita bahas di pertemuan selanjutnya ya,”–atau alternatif pamungkasnya saya kirimkan pembahasan melalui chat dengan diskusi secara terbuka atau langsung saya jelaskan sewaktu ketemu.
Saya teringat kutipan yang selalu disematkan pada Whatsapp dosen saya yang berbunyi,
“Doscendo discimus— by teaching, we learn — dengan mengajar, kita belajar.”
Kata-kata siswa tadi membuat saya menelusuri kembali ingatan masa sekolah. Saya mencoba mengingat apakah pernah ada adegan serupa seperti itu terjadi. Mungkin pernah, namun jarang sekali. Hal ini tentu merefleksikan kapasitas diri sebagai pengajar dengan jam terbang yang bisa dibilang cukup lumayan, meskipun sejatinya memang harus terus belajar dan belajar. Refleksi yang membuat saya berpikir mengapa semakin ke sini saya merasa semakin banyak profesi yang tidak bisa memenuhi kapasitasnya. Karena dari beberapa cerita yang saya dengar, beberapa kali muncul kasus serupa–profesi yang tidak memiliki kapasitas perannya.
Cerita-cerita serupa sering muncul, bukan hanya dari dunia pendidikan. Pernah saya dengar ada pelayan cafe/resto yang sudah lama bekerja tetapi tidak bisa memberikan rekomendasi menu—atau pekerja yang menyerah karena merasa “tidak bisa”. Bahkan, boleh jadi atau malah sudah pasti pelayan atau pekerja tersebut adalah diri kita sendiri. Hal-hal kecil, namun mencerminkan satu masalah yang sama: berhentinya kemauan untuk bertumbuh.
Padahal, tidak ada yang salah dengan menjadi seseorang yang tidak tahu. Tidak ada yang salah dengan butuh waktu untuk memahami sesuatu. Namun, yang menjadi masalah adalah ketika seseorang tidak mau atau bahkan berhenti belajar. Ketika ia merasa bahwa kapasitas dirinya sudah cukup.
Saya percaya kapasitas diri itu bukanlah tangki yang menunggu penuh untuk diisi, melainkan adalah tangki yang terus bertambah besar setiap kali kita belajar sesuatu yang baru. Karena ilmu tidak berbatas, maka diri kita pun tidak pernah mencapai batas akhirnya. Kita tidak pernah “penuh” bukan karena gagal, tetapi karena selalu tumbuh.
Semakin banyak yang kita pelajari, semakin kita sadar betapa luasnya hal-hal yang belum kita ketahui. Sehingga, kesadaran itu bukan kepenuhan—yang membuat kita tetap rendah hati, tetap ingin mengisi diri, dan tetap merasa hidup dalam proses belajar yang tidak pernah ada kata selesai. Pada hakikatnya, selagi kita masih hidup maka kita terus belajar, karena belajar adalah proses sepanjang hidup.
Semoga saya dan siapa pun itu tidak pernah berhenti memperbesar tangki kapasitas diri sekecil apapun bentuknya, meskipun lagi-lagi tidak ada nilainya di mata manusia lainnya.
Komentar
Posting Komentar