Perspektif: Menjadi Dewasa

Semakin beranjak dewasa, semakin banyak emosi yang saya serap dan saya pahami. Semakin beranjak dewasa, semakin saya takut akan segala ekspresi atau emosi yang saya ciptakan dan ungkapkan kepada orang lain. Saya menjadi semakin tidak sabaran, egois, angkuh, mau menang sendiri, dsb. Saya memahami betul segala pemahaman saya yang tak pernah keraput terhadap manusia termasuk kepada diri saya sendiri. Saya paham akan tidak mengenakannya perasaan kesal dan sakit atas perkataan atau perbuatan orang lain yang saya terima. 

Namun, bukankah saya juga pernah atau bahkan melakukan hal yang sama kepada orang lain? Iya. Tentu. Beberapa kali. Bahkan mungkin sering. Entah kepada mamah, bapak, kakak, adik, tante, sahabat, tetangga, dan semua orang atau makhluk hidup yang pernah saya temui di dunia. Itu berarti mungkin juga kepada kamu yang membaca tulisan ini. Sungguh, seringkali saya menyesal telah mengatakan atau melakukan hal-hal yang mungkin bisa saya hindari agar tidak terjadi pada saat itu. Namun, segala emosi dan respon diri saya yang spontan terhadap kejadian-kejadian itu menolak semua hal-hal baik yang 'mungkin' seharusnya bisa saya lakukan.

Source: Pinterest

Terkadang, saya lelah harus menjadi orang baik yang senantiasa mengatakan atau melakukan hal-hal baik, sedangkan di luar sana manusia atau mahkluk hidup lainnya tidak selamanya baik kepada saya. Itu yang sering saya pikirkan saat saya beranjak dewasa. Banyak hal yang saya tanyakan, termasuk "Apakah benar yang saya lakukan?" Beberapa orang berprinsip bahwa, 'Saya adalah apa yang kamu perbuat kepada saya'. You are what you give. Tapi, beberapa lainnya berprinsip untuk 'Tetap menjadi orang baik, meskipun orang lain tidak selalu bersikap baik'. 

Sampai saat ini, belum ada titik temu pada diri saya agar saya bisa 'menjadi manusia' seperti yang saya cita-citakan. Keinginan besar saya adalah saya mampu memegang prinsip agar menjadi orang baik meskipun orang lain tidak demikian kepada saya. Namun, pada prakteknya itu terlalu sulit bagi diri saya sendiri. Pada satu atau dua kasus yang membuat saya kesal sendiri karena sering diulang-ulang pada diri saya, saya merasa tidak bisa lagi mengendalikannya. Saya sedikit--banyak menjadi pendendam. Sering seperti itu. 

Prinsip yang saya pegang, yang saya ciptakan untuk mengatur diri saya malah saya langgar sendiri. Saya benar-benar tidak paham terhadap pemahaman saya sendiri. Bahkan yang masih sering saya tanyakan kepada diri sendiri saat ini adalah "Menjadi manusia yang seutuhnya itu seperti apa?" atau justru "Menjadi manusia memang seharusnya tidak selamanya berperangai baik untuk beberapa kasus, sehingga sikap manusiawi dari manusia sendiri dapat terlihat kentara apabila beranggapan seperti itu?"

Merendahkan ego adalah jawaban yang sementara saya berikan untuk segala hal yang saya tanyakan di atas. Mungkin memang merendahkan ego adalah hal tersulit dari yang pernah saya temui sejauh ini. Sejauh ini, sampai di sini pemahaman saya menjadi manusia. Mengambang. Buram. Abu-abu. 

Saya rasa tulisan ini cukup menjawab sekaligus mempertanyakan kembali hal-hal yang pernah saya tulis sebelumnya. Semoga pembaca tidak bingung atas poin-poin yang saya tulis, karena saya hanya menyampaikan apa yang penuh di kepala. Semua tulisan saya adalah dari sudut pandang saya pribadi dalam melihat dunia. Akan sangat wajar bila nanti timbul berbagai sudut pandang yang lain ketika Anda membaca ini. 

Komentar

Postingan Populer