People Pleaser dan Setting Boundaries

Saya di sini sebagai manusia biasa pastinya punya kebiasaan yang bisa dikategorikan baik, buruk, juga baik dan buruk dalam waktu bersamaan. Salah satu kebiasaan yang bisa dikategorikan baik dan buruk dalam waktu bersamaan untuk dilakukan adalah menyenangkan atau membahagiakan orang lain. Saya memiliki keinginan untuk membahagiakan banyak orang. Lalu, mengapa kebiasaan itu bisa dikategorikan baik dan buruk dalam waktu yang bersamaan? Hal ini karena terkadang keinginan untuk menyenangkan atau membahagiakan orang lain bisa diartikan dengan bahasa yang lebih sederhana namun menjadi tidak positif, yaitu 'enggak enakan'. Akhir-akhir ini saya beberapa kali berkelana ke Youtube dan berhasil menemukan sebuah insight dan istilah baru yang menjadi judul tulisan saya kali ini—‘people pleaser’ dan 'setting boundaries'

Source: Pinterest

Oke, saya akan bahas secara ringkas apa itu people pleaser menurut literasi yang saya temukan. Seorang psikolog Amerika Serikat, Susan Newman, mengatakan people pleaser adalah seorang yang selalu menempatkan kepentingan orang lain sebelum kepentingan dirinya sendiri. Sederhananya, people pleaser adalah orang yang ingin selalu membahagiakan orang lain  Dalam video Youtube dari dua channel yang sudah saya tonton, yaitu Gita Savitri dan Rachel Amanda, saya mendapat insight bahwa people pleaser ini meskipun dalam hal yang ‘sempit’ bertujuan baik, tapi jika terus ada dalam diri justru akan menimbulkan sesuatu yang tidak sehat—toxic. Kecenderungan untuk selalu menyenangkan orang lain alias 'enggak enakan' bisa membuat kita merasa mampu untuk melakukan sesuatu tanpa peduli apakah diri kita bahagia atau tidak ketika melakukan hal-hal tersebut.

Sebenarnya, jika mau mempelajari lebih jauh lagi, people pleaser ini tidak sesederhana itu. Menurut ilmu psikologi, ada beberapa tanda yang membuat diri kita bisa dikategorikan sebagai salah satu si-people-pleaser. Namun, saya tidak akan membahas lebih jauh lagi tentang hal ini karena saya rasa hal tersebut bukan kapasitas saya. Jika dilihat secara ringkas dari hasil saya berselancar di Google dan perlu digaris bawahi bahwa ini merupakan gambaran umum saja. Menurut Psychology Today, tanda-tanda seseorang bisa dikatakan sebagai people pleaser, antara lain berpura-pura untuk setuju dengan pendapat orang lain, meminta maaf untuk hal-hal yang tidak perlu, merasa bertanggung jawab akan perasaan/hidup orang lain, tidak bisa berkata tidak (menolak), dsb. Jika kita termasuk ke dalam tanda-tanda tersebut, mungkin saja kita memiliki kecenderungan menjadi salah satu sipeople pleaser ini. Namun, mendiagnosa diri sendiri juga tidak selamanya valid dan baik untuk dilakukan. Jadi, bukan berarti jika di paragraf atas saya menyebut diri saya sebagai seorang yang memiliki kecenderungan ini adalah valid dan baik untuk dilakukan.

Setelah menemukan insight mengenai people pleaser, dari hasil menonton Yotube saya juga menemukan istilah yang cukup familiar di telinga saya, yaitu ‘setting boundaries’. Setting boundaries ini saya definisikan sendiri sebagai aturan tidak tertulis (batas) yang kita ciptakan dalam lingkaran sosial kita. Dengan menggabungkan kedua hal tersebut, saya menemukan sesuatu yang bisa sedikit meluruskan ‘people pleaser’. Menurut pendapat saya, kita bisa menghindari atau mengurangi hal-hal yang cenderung dikaitkan dengan people pleaser dengan cara settingourboundaries.  Namun, pendapat ini hanyalah pendapat saya pribadi yang tentunya tidak memiliki kapasitas yang cukup untuk membenarkan hal ini. 

Menurut saya, people pleaser bisa dicegah jika kita mengenal batas kemampuan kita untuk membahagiakan atau menyenangkan hati orang lain. Are we pleasant to be people pleaser? Apakah kita juga bahagia ketika membahagiakan orang lain? Nah, tugas kita di sini menjadi berbeda. Bagaimana kita mampu membuat diri kita sendiri berbahagia dengan membahagiakan orang lain. Kita bisa mulai membuat aturan tertulis atau tidak tertulis tentang hal tersebut. Kita juga bisa lebih mengenal diri dan mengetahui batasan apa saja yang membuat kita bahagia atau tidak. Menyayangi dan membahagiakan orang lain memang penting, tapi menyayangi dan membahagiakan diri sendiri jauh lebih penting. Karena kebahagiaan orang lain adalah bukan tanggung jawab kita dan kita tidak akan pernah bisa untuk membahagiakan semua orang. 

P. s.  Tulisan ini semata-mata hanyalah untuk menumpahkan apa yang ada di kepala setelah saya berselancar di Youtube dan Google. 




Komentar

Postingan Populer