Dilema Landak: Dekat yang Sakit atau Jauh yang Dingin?
Hubungan interaksi antarmanusia itu rumit. Pernah dengar analogi dilema landak? ‘The hedgehog’s dilemma’ atau 'procupine dilemma' sebuah analogi yang dicetuskan oleh seorang filsuf Jerman, Arthur Schopenhauer, dalam bukunya “Parerga und Paralipomena” dan diteliti oleh Sigmund Freud seorang psikolog asal Austria dalam esainya “Group Psychology and The Analysis of The Ego” yang membahas serta memaknai hubungan interaksi antarmanusia dengan segala kenyamanan dan kesakitannya.
Dalam buku dan esainya, Schopenhauer
dan Freud menganalogikannya seperti ini, situasi dimana sekawanan landak pada musim
dingin ingin mencari kehangatan satu sama lain. Untuk mendapatkan kehangatan
tersebut landak-landak itu harus saling berdekatan, namun mereka menyadari bahwa tubuh mereka dipenuhi duri yang dapat menyakiti satu sama lain.
Sekawanan landak tersebut terjebak dalam situasi dilema untuk memilih kedua
pilihan yang sama sulitnya—saling berdekatan namun menyakitkan atau berjauhan
tapi kedinginan?
Dalam hubungan interaksi sosial,
kita tahu bahwa manusia memang tidak bisa hidup sendiri, bukan? Karena
sejatinya manusia ialah makhluk sosial yang berkebutuhan dan hidup membentuk
serta memelihara relasi sosial. Sebagai makhluk sosial dan berkebutuhan,
manusia juga tentu akan selalu bergantung satu sama lain agar tetap hidup.
Namun, ketika melakukan interaksi satu sama lain, sudah pasti kita—manusia pernah
saling menyakiti satu sama lain, baik secara sengaja atau tidak.
Ya, begitulah kira-kira analogi dilema landak yang juga saya rasakan sebagai manusia. Tidak hanya di lingkup pertemanan, melainkan keluarga, orang yang baru saja dikenal, dsb. Karena yang saya rasakan ini sejatinya merupakan siklus kehidupan manusia yang tidak bisa ditinggalkan atau dihindari. Ketika kita bersosialisasi, pasti kita pernah atau justru sering merasa tersakiti entah oleh perkataan atau perbuatan seseorang atau sekelompok orang. Makna dari rasa sakit pada analogi dilema landak juga bisa berarti kesulitan, masalah, pertikaian, dll. Boleh jadi diri saya yang menyakiti orang lain atau sebaliknya.
Berbicara tentang analogi ini,
saya berpikir bahwa saya akan memilih untuk memberikan sedikit jarak yang mampu
membatasi diri saya dengan orang lain agar saya bisa tetap merasa hangat, namun
tidak terlalu merasakan sakit karena 'duri-duri' yang dimiliki orang lain. Meskipun
dalam analogi di atas, pernyataan saya tidak ada dalam pilihan, namun saya rasa
cara ini dapat membantu manusia dalam melakukan interaksi sosial yang lebih
baik, karena saya yakin bahwa setiap manusia pasti memiliki ruang untuk dirinya
sendiri terlepas dari hakikatnya sebagai makhluk sosial dan berkebutuhan.
Seperti yang dijelaskan oleh
Dicky C. Anggoro dalam tulisannya “Mengenal Dilema Landak, Ketika Kedekatan
yang Bikin Nyaman Bisa Berubah Saling Menyakiti”. Membuat batasan antara
privasi dan tidak adalah hal yang sangat penting untuk dilakukan, karena privasi
merupakan ruang kebebasan bagi seseorang untuk menjadi dirinya sendiri tanpa
campur tangan orang lain. Campur tangan di sini dapat diartikan sebagai
ekspektasi orang lain terhadap diri yang berpotensi menjadi duri dan mampu
melukai satu sama lain. Ketika ekspektasi itu ada dan tidak sesuai dengan
realita, pasti kekecewaan akan muncul. Hal ini akan lebih parah apabila
interaksi sosial antarmanusia ini sudah terlalu intim, karena rasa sakit yang mungkin timbul akan
terasa lebih parah. The closer we get, the more it hurts. Berbicara tentang ekspektasi, saya jadi ingat salah satu kutipan buku mahakarya Marchella FP.
Jadi, sebagai manusia--bisakah kita tetap
memberikan batasan namun tetap merasakan kehangatan? Karena analogi dilema
landak ini akan selalu ada dalam siklus interaksi sosial antarmanusia.

Halo, Kak Zaini! Thank you udah baca dan kasih sudut pandang dari Kakak. Kayaknya saya masih belajar biar bisa jadi diri sendiri nih, Kak.
BalasHapusAnyway, sehat selalu ya, Kak!