Amor Fati: Mencintai Takdir dengan Bersyukur

Saat saya scroll dan membaca laman Quora beberapa waktu lalu, muncul bacaan yang membahas mengenai amor fati. Sebelum membaca jawaban Quora tersebut, saya juga pernah mendengar istilah amor fati ini dari sebuah judul buku karya Stefani Bella dan Syahid Muhammad yang diceritakan oleh seorang teman dan belum pernah saya baca. Karena saya merasa amor fati ini cukup relate dengan tulisan saya sebelum ini yang berjudul "5 Stages of Grief: Sebuah Usaha Mengenal Kesedihan" saya memutuskan untuk melakukan penelusuran lain di gugel dan mencari beberapa bacaan untuk membantu saya memahami konsep dari amor fati ini. Dari penelusuran yang saya lakukan, saya merasa cukup tertarik untuk membuat tulisan mengenai hal ini karena seperti yang saya tuliskan di atas, saya rasa tulisan ini akan saling bersambung dan berkaitan satu sama lain dengan tulisan saya sebelum atau setelah ini. Sebenarnya, ada satu lagi topik yang ingin sekali saya bahas dan saya rasa bisa menjadi lanjutan dari tulisan ini tentang 'buah' dari amor fati itu sendiri, yaitu kebahagiaan. Tapi sebelum jauh ke sana, saya akan mengupas hasil penelusuran tentang amor fati dan bagaimana kedekatannya dalam kehidupan manusia.

Mencintai takdir adalah definisi singkat dari amor fati. Istilah amor fati berasal dari bahasa latin yang terdiri dari dua kata, yaitu "amor" yang berarti cinta/love dan "fati" yang berarti takdir/fate. Dari beberapa tulisan yang membahas tentang amor fati, saya mendefinisikan amor fati sebagai suatu filosofi di mana kita mampu ikhlas dan bersyukur tentang takdir dengan segala ketidakpastiannya—meskipun takdir yang paling buruk sekalipun. Istilah ini dipopulerkan oleh Friedrich Nietzsche, seorang filsuf Jerman pada abad ke-19. Menurut Nietzsche, manusia harus memandang segala hal baik dan buruk sebagai hal yang saling terhubung dan bergantung. Sehingga, keburukan yang ada merupakan bagian yang penting dan tidak dapat terpisah dari kebaikan itu sendiri. Bukankah kita tidak akan bisa memahami bagaimana bentuk kebaikan jika kita tidak mengalami suatu keburukan dan sebaliknya?

Friedrich Nietzsche

"My formula for greatness in a human being is amor fati: that one wants nothing to be different, not forward, not backward, not in all eternity. Not merely bear what is necessary, still less conceal it—all idealism is mendacity in the face of what is necessary—but love it."
— Friedrich Nietzsche

Setelah berusaha memahami pengertian dari amor fati, saya rasa memang akan terasa sulit untuk menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Pada umumnya, ketika manusia dihadapkan pada situasi yang buruk, kebanyakan dari mereka—termasuk saya pasti akan selalu denial dan tidak bisa menerima hal-hal yang terjadi. Jika untuk menerima saja sulit, apalagi jika harus mencintai. Menurut saya, untuk bisa mencapai titik ini memang akan membutuhkan sebuah perjalanan yang panjang dan bahkan bisa menjadi perjalanan seumur hidup. 

Namun jika dipikirkan kembali, saya setuju dengan tulisan Riffatar dalam Medium yang berjudul "Mengatasi Ketidakpuasan untuk Hidup Bahagia" di mana konsep amor fati sendiri erat kaitannya dengan bersyukur. Riffatar menuliskan bahwa bersyukur memiliki tingkatan yang sama dengan amor fati dan lebih tinggi tingkatannya daripada sekadar ikhlas. Ketika kita mengalami suatu hal yang buruk, maka langkah yang seharusnya kita lakukan adalah menerimanya dengan ikhlas. Kemudian, saat kita mencapai suatu titik keikhlasan tersebut kita bisa bersyukur dan bisa mengambil hikmah dari apa yang sudah terjadi. Beberapa penelitian tentang manfaat dari bersyukur telah dilakukan dan menunjukkan hasil yang selaras. Penelitian ini dilakukan oleh Dr. Robert A. Emmons, seorang ahli psikologi yang berasal dari University of California dan Dr. Michael E. McCullough dari University of Miami pada beberapa orang. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ketika seseorang bersyukur, maka kebahagiaannya juga akan meningkat. Seseorang juga akan cenderung merasa hidupnya lebih baik dengan bersyukur. 

Proses menerima takdir—bahkan untuk mencintai takdir dengan bersyukur memang terasa sulit untuk dilakukan. Namun jika kita sudah memiliki pemahaman tentang hal ini, kita sudah selangkah lebih maju dari diri kita di "masa lalu". Mencintai takdir dengan bersyukur bukan berarti menyerah atau pasrah dengan apa yang terjadi, melainkan bisa kita lakukan dengan berfokus pada hal-hal baik yang bahkan sangat kecil sekalipun. Lalu, jika dikaitkan dengan ajaran agama Islam, konsep mencintai takdir ini juga diajarkan. Apapun yang terjadi dalam hidup kita, entah baik atau buruk sekalipun pasti terjadi atas izin dan kuasa Allah swt. Saya juga meyakini bahwa apapun yang terjadi dalam hidup bukanlah suatu kebetulan, melainkan betul-betul terjadi dengan alasan yang bahkan tidak—atau belum kita ketahui.

"Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui."

(Q.S. Al-Baqarah/2:216)


Komentar

Postingan Populer