Racauan Masa Depan, Tolong Abaikan
Saya jadi ingin membikin catatan ini setelah saya banyak membaca kisah fiksi maupun nonfiksi dan sejumlah puisi cinta dari hasil blogwalking saya sepanjang hari kemarin. Saya jadi berangan agar punya pendamping hidup yang suka membuat puisi.
Setiap petang sebelum tidur kamu membacakan tiap-tiap barisnya sambil tersenyum. Kemudian, setiap pagi saya akan membuatkan kopi hangat yang manis untukmu dan saya hanya minum teh hangat sebab penyakit maag saya yang mungkin bisa kambuh sewaktu-waktu. Kemudian, kita seduh berdua sambil menikmati sarapan yang saya siapkan. Ketika kamu membuka piring itu, lantas kamu menemukan secarik kertas berwarna merah jambu yang tertempel apik bertuliskan huruf tegak bersambung "Saya tidak akan pernah bisa mengucapkan satu kalimat, dua kata: selamat tinggal, padamu" lalu kita berdua saling melempar senyum.
Setiap petang sebelum tidur kamu membacakan tiap-tiap barisnya sambil tersenyum. Kemudian, setiap pagi saya akan membuatkan kopi hangat yang manis untukmu dan saya hanya minum teh hangat sebab penyakit maag saya yang mungkin bisa kambuh sewaktu-waktu. Kemudian, kita seduh berdua sambil menikmati sarapan yang saya siapkan. Ketika kamu membuka piring itu, lantas kamu menemukan secarik kertas berwarna merah jambu yang tertempel apik bertuliskan huruf tegak bersambung "Saya tidak akan pernah bisa mengucapkan satu kalimat, dua kata: selamat tinggal, padamu" lalu kita berdua saling melempar senyum.
Kemudian, di suatu senja sambil menantikan adzan maghrib berkumandang kita duduk berdua di beranda depan rumah sambil bercerita ringan. Kemudian, kamu mengambil sebuah foto polaroid dalam saku dan memberikannya pada saya saat itu. Di sana saya menemukan gambar kita berdua sedang selfie di depan menara eiffel dengan wajah yang sangat bahagia. Di belakang foto kita, saya menemukan kalimat yang sama seperti yang saya tulis pagi tadi. Maka, dari masing-masing secarik kertas yang sama-sama kita berikan itu saya harap akan menjadi air yang memadamkan api. Kalimat itu akan saling mengingatkan ketika kita sedang bermarah-marahan sampai tiada berbicara satu kata pun selain ucapan salam.
Saya berangan seperti itu. Saya jadi ingin punya pendamping hidup romantis yang selalu bisa menulis kata puitis bukan sebagai bualan semata. Dia menulis sebab ketulusannya. Dia menulis dari sedalam-dalam hatinya.
Mungkin, ini sedikit catatan kisah angan saya yang terlalu berlebihan jika saya biarkan menempel di blog saya yang telah banyak racauan tidak penting dan penting sekali ini. Tapi, saya rasa, saya sangat sedang ingin memamerkan catatan ini pada linimasa blog saya saat ini juga. Maaf, bila dalam kata-kata saya dapat membikin perut mual dan mata pedas. Sungguh, itu karena kesalahan saya. Terima kasih telah berkenan banyak membaca di sini.
Tertanda,
Saya
Komentar
Posting Komentar